Selasa, 01 April 2014

Hikmah Belajar Setiap Saat

Belajar Hikmah dari Kisah si Tukang Cukur

  Oleh: Asadul Elmy

dakwatuna.com – Dalam hidup ini kita sering dihadapkan dengan keadaan begitu cepat mengambil kesimpulan dari apa yang kita alami. Misalnya, saat kita diberi kebahagiaan oleh Allah maka kita berkesimpulan Allah menyayangi dan mencintai kita. Di kondisi lain, ketika kita mendapat berbagai musibah dan cobaan, justru kita berkesimpulan Allah tidak adil dan tidak menyayangi kita.
Bila diberi karunia kita mampu mensyukuri, bila diberi musibah dan cobaan kita kadang kala tidak mampu menerima dan bahkan berani menyalahkan Allah sebab kita menganggap ketidakadilannya. Bila hal ini terjadi, di mana letak keimanan kita kepada qadar (ketentuan yang baik dan buruk) Allah?
Kita selayaknya beriman kepada qadar, yakni takdir Allah. Bahwasanya apa saja yang terjadi atas diri seseorang itu semuanya dari Allah Ta’ala, yakni telah ditakdirkan oleh Allah yang menyusun dan menentukan segala yang telah terjadi  atau yang akan terjadi. Bagi manusia ada usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar manusia itu tidak dapat tercapai jika tidak sesuai dengan kehendak Allah yang memiliki alam semesta ini. Semua pikiran dan usaha-usaha manusia yang telah tercapai bukanlah karena kepandaiannya, namun semua itu telah ditentukan Allah yang Maha Adil dan Maha Kuasa. Bahkan pikiran dan akal yang ada padanya itu, semuanya karunia dan anugerah Allah Ta’ala.
Setiap manusia yang benar-benar beriman kepada qadar Allah, tentu tidak akan menyesal dengan sesuatu yang menimpa atas dirinya berupa hal-hal yang tidak ia sukai. Begitu pula ia tidak akan berlaku takabbur (sombong) ketika memperoleh kesenangan (kekayaan) di dunia ini. demikian di antara bentuk pemahaman dan aplikasi kita terhadap rukun iman kepada qadar Allah.
Rukun iman yang keenam ini mendidik dan membina manusia agar bersabar terhadap bencana dan musibah yang menimpa dirinya, dan supaya ia senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Kita perlu belajar dari banyak hal. Belajar dari sejarah, cerita dan kisah yang bisa kita ambil hikmahnya bagi kehidupan sehingga kita tidak serta merta berkesimpulan salah menilai sesuatu yang menurut anggapan kita tidak adil dan merugikan.
Belajar hikmah, ada suatu kisah menarik yang perlu kita cermati. Kisah seorang tukang cukur yang mengambil kesimpulan keliru dari realita sosial yang ia amati.
Suatu ketika ada seorang pemuda datang ke tukang cukur untuk memotong rambut dan jenggotnya yang sudah panjang. Pemuda itu pun memulai pembicaraan hangat dengan si tukang cukur yang melayaninya. Berbagai macam topik menjadi pilihan mereka. Hingga akhirnya Tuhan menjadi subjek pembicaraan.
Sampai pada suatu ketika, “Hai Tuan, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada seperti yang barusan anda katakan” ujar si tukang cukur.
Mendengar ungkapan tersebut, sang pemuda terkejut dan bertanya “mengapa anda menyimpulkan dan berkata demikian?”
“Iya, jika Tuhan itu memang ada mengapa begitu banyak orang yang sakit dan mengapa banyak anak-anak yang terlantar di luar sana? Jika Tuhan itu ada maka tentunya tidak ada sakit dan penderitaan. Tuhan apa yang membiarkan dan mengizinkan semua itu terjadi” jawab si tukang cukur dengan nada yang cukup tinggi.
Si pemuda itu pun berpikir tentang apa yang baru saja didengarnya dari sang tukang cukur, namun ia tidak memberi respons lagi agar argumen tersebut tidak lebih meluas lagi.
Setelah selesai, saat si pemuda keluar dari tempat tukang cukur itu, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang laki-laki berambut panjang dan jenggotnya sangat lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke tukang cukur sehingga itu membuatnya terlihat sangat tidak rapi. Akhirnya si pemuda kembali masuk ke tempat tukang cukur tadi dan berkata kepada tukang cukur.
“Ternyata di dunia ini tidak ada yang namanya tukang cukur dan saya tidak mempercayai keberadaannya” kata si pemuda.
Otomatis si tukang cukur terkejut dan bertanya, “Bagaimana mungkin mereka tidak ada tuan? Buktinya adalah saya. Saya ada di sini. Dan saya adalah seorang tukang cukur, barusan memotong rambut tuan” sanggah si tukang cukur.
“Kalau mereka ada, tidak mungkin ada orang berambut panjang dan berjenggot lebat seperti salah seorang bapak di luar sana” ujar si pemuda dengan tegas dan jelas.
“Ah, anda bisa saja tuan. Tukang cukur itu selalu ada di mana-mana dan di banyak tempat. Yang terjadi pada bapak itu adalah dia tidak mau datang ke sini untuk di cukur” jawab si tukang cukur.
“Tepat” tegas si pemuda. “itulah poin dan jawabannya, sebenarnya Tuhan itu ada. Yang terjadi pada umat manusia adalah mereka tidak mau datang, mendekat dan mencari-Nya. Itulah sebabnya mengapa tampak begitu banyak  penderitaan di seluruh dunia ini” jawab si pemuda dengan mantap.
Subhanallah, pikiran cerdas yang luar biasa dari si pemuda tersebut. Mampu mementahkan logika pernyataan yang telah menjadi kesimpulan si tukang cukur yang tidak mengakui adanya Tuhan karena keadaan-keadaan sosial yang ia amati.
Kadang di dalam hidup ini kita terlalu gampang dan cepat mengambil kesimpulan dari sesuatu hal yang tidak kita pikirkan secara mendalam. Bila diibaratkan, tukang cukur itu telah mewakili diri kita juga. Yang di saat menderita dan kesusahan kita mengatakan bahwa Tuhan tidak adil bahkan tidak ada. Sementara kita sesungguhnya tidak mengenal Tuhan dan mungkin kita tidak dekat dengan-Nya.
Berdasarkan kisah di atas, bisa kita ambil beberapa hikmahnya. Di antaranya adalah hendaknya kita lebih mengenal sang Khaliq (Pencipta) yaitu Allah dalam sebaik-baik keyakinan. Kemudian hendaknya kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya sehingga dengan kedekatan itu maka kita tidak akan pernah salah menyimpulkan akan keberadaan dan kekuasaan Allah Ta’ala sebab apapun yang terjadi, setelah ikhtiar yang kita lakukan maka semuanya kembali pada Qadar (ketentuan) Allah.
Berbagai keadaan dan hal yang kita alami dalam keseharian, baik berupa kesenangan maupun kesusahan dan kesulitan, hendaknya menambah keyakinan kita akan keesaan dan kemahakuasaan-Nya. Serta menambah kedekatan dan ibadah kita kepada Allah Ta’ala.
Ingatlah Firman-Nya:
“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah: 216)
Berdasarkan ayat di atas, tentunya tiada hal yang dapat kita ingkari bahwa Allah Maha Mengetahui dan kita tidak lebih tahu melainkan yang telah Allah berikan pengetahuan kepada kita. Maka apapun keadaan kita, baik dan buruk, enak dan tidak enak, sesuai yang kita inginkan dan tidak sesuai dengan yang kita inginkan, serta keadaan-keadaan lainnya, hendaklah kita percaya dan meyakini itu semua sudah menjadi ketentuan Allah, tinggal bagaimana kita menyikapinya dan mampu untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya sedekat-dekatnya, sehingga kita tidak pernah berpikiran keliru seperti argumen tukang cukur tersebut di atas dan menjadi pribadi yang bijak dalam setiap hal.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar