Jumat, 15 Agustus 2014

Serial Rumah Tangga 3

Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-2)


Muslimah (photobucket.com)dakwatuna.com – Dalam manajemen emosi wanita untuk memperlakukan gelas-gelas kristal ini secara hati-hati dan lembut – agar tetap terawat dalam keindahannya dan dapat menikmati kebersamaan dengannya dengan kondisi tetap utuh bening berkilau – maka Islam menganjurkan suami berlemah lembut kepada istri (An-Nisa:19). Menurut Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, ayat ini berarti, “wajib bagi kalian kaum mukmin untuk mempergauli istri-istri kalian dengan baik, yaitu menemani hidup dan mempergauli mereka dengan ma’ruf yang lazim dan berkenan di hati mereka serta tidak melanggar aturan syariat, tradisi dan kesopanan. Karena itu, mempersempit jatah nafkah, menyakiti fisik dan perasaan pasangan dengan perbuatan dan perkataan, sikap dingin dan masam, semua itu tidak termasuk pergaulan yang ma’ruf.”
Dalam konteks perlakuan baik terhadap istri dan keluarga, Rasulullah saw pernah memantang para suami dengan sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku adalah sebaik-baik orang terhadap istriku (keluargaku).” (HR. Ibnu Majah).
Pada dasarnya, rumah tangga itu ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif yang saling mementingkan pasangannya, sehingga masing-masing akan memberikan hak pasangannya melebihi kewajibannya, dan tidak hanya menuntut haknya sendiri. Namun untuk itu, suami-istri harus bersabar atas kelemahan dan kekurangan bahkan kesalahan masing-masing pasangannya. Dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan maksud ayat dari surat An-Nisa:19 adalah bahwa, “kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena suatu cacat pada fisik atau wataknya yang tidak termasuk kategori dosa karena urusan itu di luar kekuasaannya, atau kurang sempurna dalam melaksanakan kewajibannya dalam mengatur dan mengurusi rumah tangga, karena tidak ada orang yang sempurna, atau ada kecenderungan dalam hatimu pada selain pasanganmu, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan dan vonis pada mereka dan jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Manajemen emosi dengan baik dalam arti bersabar atas tabiat dan keadaan kodratinya bahkan perilaku pasangan dengan tetap mentarbiyah dengan ihsan dalam dinamika keluarga akan membuahkan sikap cinta yang tulus, murni dan tanpa dibuat-buat. Senyuman, belaian dan perlakuan kasih yang diberikan adalah tulus ibarat merekahnya bunga alami dan bukan seperti senyuman basa-basi bagaikan merekahnya bunga imitatif atau bunga plastik. Sesuatu kebajikan dan sikap baik harus tumbuh dari kesadaran nurani yang ikhlas bila ingin mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan pasangan tidak dapat dijamin hanya dengan nafkah lahir materi, namun justru perlakuan dan sikap sehari-hari yang simpatik adalah yang lebih efektif dalam menggaet hati pasangan dan akan memaklumi segala kekurangan fisik dan materi yang ada. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan tatapan simpatik dan akhlaq yang baik.”
Keahlian manajemen emosi ini kita dapat melihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada zaman Rasulullah saw. Kita melihat bagaimana Aisyah ra., ketika sedang emosi dan merasa jengkel terhadap Nabi saw, maka beliau tidak mengumbarnya, tetapi hanya diekspresikan melalui gaya bahasa yang berubah lain dari kebiasaan ketika sedang suka dan Nabi pun tanggap dengan cepat menangkap isyarat ketidaksukaan istrinya tersebut serta menyikapinya dengan penuh kesabaran dan introspeksi. Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada istrinya, Aisyah ra, “saya sangat mengenal, jika kamu sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel.” Lalu Aisyah bertanya, “bagaimana engkau dapat mengetahuinya?” beliau menjawab, “jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah) ‘tidak, demi Rabb Muhammad’, namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan, ‘tidak, demi Rabb Ibrahim’. (HR. Muslim).
Sikap demikian bukan merupakan kekurangan Aisyah, justru merupakan kelebihannya dalam mengelola emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan menggoyang keharmonisan keluarga. Sehingga Imam Muslim memasukkan hadits tersebut dalam judul ‘fadlu (keutamaan) Aisyah’ dari Bab Fadhail Shahabah.
Manajemen emosi di sini bukan berarti mematikan dan membekukan perasaan, tetapi justru kaum wanita harus dapat bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga. Dengan demikian, akan terbangun komunikasi sehat yang lancar tanpa ada sumbatan dan hambatan apapun. Inilah yang menyehatkan hubungan dalam rumah tangga. Sebagaimana aliran air dan tekanan udara yang terhambat, tersendat ataupun tersumbat akan beresiko mendatangkan malapetaka.
Di samping itu, dalam manajemen emosi diperlukan sikap arif kaum wanita untuk tidak memancing ego dan emosi suami untuk menggunakan kekerasan karena kejengkelan dan kebenciannya yang memuncak, sehingga dapat mematahkan tulang yang berlekuk tadi, atau memecahkan gelas kristal yang berdimensi tersebut. Artinya, bila tidak ingin dipatahkan atau dipecahkan, maka jangan menempatkan diri pada posisi menantang, melintang atau sembarangan sehingga mengundang perlakuan semena-mena atau kasar. Ibarat air maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah alirannya dalam ketenangan dan kejernihannya sehingga dapat menghanyutkan perasaan pasangan dan mengalir ke satu arah dan bukan gemuruh riak yang memuakkan ataupun bukan ketenangan air yang menggenang yang membawa penyakit ataupun kotoran.
Pribadi yang shalihah adalah yang dapat mengelola emosi menjadi sebuah potensi yang membangun dan bukan merusak, merekatkan dan bukan meretakkan, mengokohkan dan bukan merobohkan serta mudah memberikan toleransi atau maaf pada orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga. Allah berfirman: “dan orang-orang yang menahan amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran:134)

Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Serial Rumah Tangga 2

Manajemen Cemburu


dakwatuna.com – Allah Swt. berfirman: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari simpati istri-istrimu Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim:1)
Belakangan ini semakin banyak kaum ibu baik kalangan umum maupun kalangan aktivis atau istri aktivis dakwah (ummahat) yang sedang dihinggapai rasa was-was dan ada sebagian yang semakin panas dibakar api cemburu pada sang suami gara-gara banyak kalangan bapak-bapak aktivis (abi-abi) yang getol melontarkan isu ta’addud yang sebenarnya bukan sekadar bahan pembicaraan, namun secara riil telah menjadi semacam teror, monster maupun momok bagi kaum ibu meskipun hal itu di pikiran para suami mungkin sekadar intermezzo, canda, iseng, cerita lepas tetapi memang tidak dipungkiri ada sebagian mereka yang sengaja menggencarkan isu tersebut sebagai upaya sistemik bagi semacam ‘pemanasan’, mukadimah, ‘conditioning’ (pengkondisian) ataupun apalah namanya yang penting istri mereka terbiasa mendengar wacana ataupun fenomena itu dengan harapan lama-lama kebal dan biasa sehingga bila tiba saatnya terjadi kenyataan dialami suami mereka tidak kaget ataupun protes lagi, hanya sekadar memaklumi saja.
Keresahan dan kecemburuan kalangan ummahat tersebut tidak jarang juga dipicu dan ‘dikomporin’ oleh cerita yang bersumber dari suami mereka, berita media massa ataupun kabar burung, gosip dan rumpian para ummahat bahwa suami si anu nikah lagi, si aktivis anu sedang dalam proses ta’addud. Api kecemburuan tersebut semakin berkobar dan kewaspadaan ditingkatkan menjadi waspada satu atau situasi stadium gawat darurat karena semakin hari semakin bertambah panjang deretan koleksi nama-nama keluarga yang memekar menjadi berbilang. Alasan mereka sih sah-sah saja kan diperbolehkan syariah terlepas dari tepat tidaknya untuk kondisi mereka. ‘Nikah lagi, siapa takut’ demikian seloroh sementara ikhwan dan dibalas sang istri sambil tersungut; “gi, sono deh…! siapa takut! Satu aja nggak keurus dengan adil!” Dan saya sedang tidak ingin membahas masalah ta’addud yang kontroversial ini, melainkan saya ingin mengkaji fenomena lain seputar cinta dan pernikahan yakni kecemburuan atau rasa cemburu.
Kecemburuan yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai ghoirah dan dalam bahasa Inggris disebut jealousy merupakan gejala fitrah, wajar dan alamiah dari seseorang sebagai rasa cinta, sayang dan saling memiliki, melindungi (proteksi) dan peduli. Namun pada kenyataan keseharian rasa, cemburu tidak jarang mendapatkan stigma dan konotasi yang selalu negatif sebagai bentuk ekspresi dan refleksi yang tidak pada tempatnya, norak, egois, curiga dan sebagainya. Memang pada umumnya, akan terasa menyesakkan dan hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan bila seorang wanita selalu dibayangi perasaan cemburu. Seorang wanita bijak pernah berkata, “Aku pernah mendapati seorang teman yang begitu menderita, banyak mengeluh, pencemburu, karena suaminya sering bepergian. Ia juga merasa cemburu ketika suaminya membuat janji dengan rekan kerja, sedang menelpon atau sedang menulis surat, atau bahkan ketika sedang termangu dan tersenyum malu. Ia merasa yakin bahwa dalam pikiran suaminya pada saat itu terdapat wanita lain.”
Kondisi pikiran dan kejiwaan seperti ini timbul dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal mungkin karena ia tidak mampu mengendalikan kecemburuan dan potensi kewaspadaannya dengan bijaksana sehingga kehilangan kepercayaan pada suaminya dengan merugikan dirinya sendiri berdasarkan sesuatu indikasi sumir yang belum jelas masalahnya. Adapun secara eksternal memang tidak menutup kemungkinan ada banyak indikasi yang mengarah kepada kelayakan suami untuk dicemburui, dicurigai ataupun diwaspadai seperti penampilan genit, mata keranjang maupun ‘gatelan’.
Meskipun demikian, rasa cemburu sebenarnya tidak hanya dihinggapi kaum wanita saja melainkan juga kaum pria. Kalau ada sebutan istri pencemburu yang sering mengganggu keleluasaan ruang gerak suami, juga ada istilah suami cemburuan yang jealous melihat kemajuan istri yang positif ataupun terhadap perangainya yang di matanya selalu mencurigakan. Semuanya itu yang ideal memang seharusnya ditepis dengan cara mencegah rasa cemburu untuk berubah menjadi duri dalam daging, pasir dalam pikiran bayangan hitam yang menyelimuti perasaan maupun dengan cara klarifikasi (tabayyun), koreksi (tanashuh), maupun introspeksi (muhasabah) secara lapang dada, kepala dingin dan pikiran jernih sebelum segalanya terjadi. Sebab, jika tidak maka keadaan rumah tangga akan menjadi semakin genting, kritis, parah dan susah mengobatinya yang berakibat pada kesengsaraan. Bukankah Allah telah berpesan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)
Dalam hal manajemen kecemburuan ini agar tidak menyengsarakan semuanya, Imam Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin (hal.241-242) menganjurkan para wanita muslimah untuk meniru karakteristik bidadari surga yang berhati suci sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “dan untuk mereka di dalamnya terdapat isteri-isteri yang suci.” (QS. Al Baqarah:25). Yaitu dengan membangun kejiwaan yang bersih dari perasaan cemburu yang tidak pada tempatnya, sikap kepribadian yang menyakiti hati suami, dan menjauhkan dari benak mereka untuk memikirkan pria lain selain suami mereka.
Namun begitu, sebenarnya tidak semua cemburu itu membawa kesengsaraan dan tidak terpuji. Sebab rasa cemburu merupakan suatu potensi kejiwaan yang bila dipakai dan dikelola pada tempatnya secara wajar justru akan menjadi kontrol positif dan bukan menjadi sikap negatif yang kontra produktif. Imam Al Munawi dalam kitab Al-Faidh justru menyatakan bahwa wanita yang paling mulia dan yang paling luhur cita-citanya adalah mereka yang paling pencemburu pada tempatnya. Maka sifat seorang beriman yang cemburu (ghoyyur) pada tempatnya adalah sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh Rabbnya. Siapa yang mempunyai sifat menyerupai sifat-sifat Allah, maka sifat tersebut berada dalam perlindungan-Nya dan mendekatkan diri seorang hamba kepada rahmat-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat cemburu dan orang-orang beriman juga memilikinya. Adapun rasa cemburu Allah ialah ketika melihat seorang hamba yang mengaku dirinya beriman kepada-Nya melakukan sesuatu yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Kehilangan rasa cemburu dan tumbuhnya sikap ketidakpedulian pada pasangan hidup dan keluarga baik para istri maupun suami dengan membiarkan penampilan, perilaku dan aktivitas keluarga mereka tanpa kontrol (muraqabah) dengan dalih saling percaya meskipun realitas di depan mata mengundang fitnah dan membawa indikasi negatif akan membuka peluang bagi penodaan kehormatan dan citra keluarga sangat dibenci dalam Islam yang mana Nabi melaknat perangai dayyuts yakni kehilangan rasa cemburu pada keluarga agar tidak jatuh kepada kemaksiatan. Beliau juga bersabda: “Orang-orang mukmin itu pencemburu dan Allah lebih pencemburu.” (HR. Muslim). Cemburu dalam arti yang positif di sini harus didasari cinta (mahabbah) karena Allah, bukan karena emosi hawa nafsu dan egoisme agar keluarga terselamatkan dari api neraka. Saad bin ‘Ubadah berkata: “Dengan cinta itu pula sebuah kebahagiaan hidup seseorang akan terasa semakin sempurna (abadi).”
Abu Faraj menjelaskan dalam An-Nira bahwa menurut Mu’awiyah terdapat tiga macam kemuliaan, yaitu sifat pemaaf, mampu menahan lapar dan tidak berlebihan dalam memiliki rasa cemburu (yang tidak pada tempatnya). karena berlebihan itu merupakan hal melampaui batas dan merupakan suatu kezhaliman terhadap pasangannya.
Cemburu demi kebenaran dan ketaatan merupakan dasar perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Untuk itu, apabila tidak terdapat kecemburuan dalam hati seorang yang beriman, maka sudah dapat dipastikan tidak ada dorongan untuk berjuang dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar padanya yang dimulai dari diri dan keluarganya. (QS.AT-Tahrim:6) Oleh karena itu, Allah menciptakan sebagian dari tanda kecintaan-Nya untuk berjuang sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah:54)
Kecemburuan yang pada tempatnya akan bernilai ibadah dan dicintai Allah yakni cemburu terhadap sesuatu pelanggaran nilai syariah secara pasti dan jelas. Namun kebalikannya, kecemburuan akan bernilai maksiat dan dibenci Allah yang justru akan merenggangkan tali cinta kasih suami-istri, mengganggu ketenteraman keluarga dan menyengsarakan hidup bersama jika hal itu cuma mengada-ada, su’udzon (negative thinking), syak wasangka, curiga terhadap sesuatu yang belum jelas dan pasti, serta cemburu buta secara bodoh karena rasa was-was yang tidak pada tempatnya itu berasal dari setan (QS. An-Naas:3-6). Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kecemburuan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci oleh-Nya. Adapun kecemburuan yang disukai adalah kecemburuan pada hal-hal yang pasti, sedangkan yang dibenci oleh-Nya adalah kecemburuan pada hal-hal yang tidak pasti.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Dengan demikian, rasa cemburu ada dua macam. Pertama adalah cemburu yang merupakan fitrah manusia, yaitu cemburu netral yang dapat menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan pencemaran citra dan atau sikap melampaui batas. Cemburu seperti itu dianggap akhlaq mulia yang patut dimiliki oleh setiap orang beriman. Kedua, adalah cemburu yang merugikan, dibenci dan terlarang, yaitu rasa cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, dapat saja kita menuduh orang yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah tangga. Rasulullah pernah bersabda: “Rasa cemburu ada yang disukai Allah dan ada pula yang tidak disukai-Nya. Kecemburuan yang disukai Allah adalah yang disertai alasan yang benar. Sedangkan yang dibenci ialah yang tidak disertai alasan yang benar.” (HR. Abu Daud).
Api cemburu buta yang tidak pada tempatnya dapat menghanguskan kebenaran dan melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Kondisi demikiankah yang menjadi asbabun nuzul dari surat At-Tahrim di atas yang memberikan pelajaran tentang arti cinta dan cemburu sehingga cinta kepada Allah harus didudukkan yang paling tinggi sehingga cemburu tidak akan keluar dari rel kesucian cinta kepada Allah, meskipun semula berangkat dari fitrah alamiah dari rasa cemburu. Rasulullah pernah bertanya pada istrinya, Aisyah Ummul Mukminin RA.: “Apakah engkau pernah merasa cemburu?” Aisyah menjawab, “Bagaimana mungkin orang seperti diriku ini tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR. Ahmad).
Ketika Rasulullah sampai di Madinah bersama Shafiya yang sama-sama hijrah dan yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah, Aisyah berkata: “Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Tetapi, Rasulullah mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. Maka aku pun bergegas meninggalkan beliau. Namun beliau mempercepat langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang dirinya.’ Aisyah menjawab dengan nada sinis, ‘ia adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR. Ibnu Majah).
Dari Aisyah RA, ia berkata: ‘pernah suatu malam, Nabi saw ada bersamaku dan beliau pada saat itu mengira aku telah tertidur. Maka beliau keluar dan aku pun mengikuti jejak langkah beliau. Sungguh aku mengira bahwa beliau pergi untuk menemui istrinya yang lain, hingga beliau sampai pada suatu tempat pemakaman. Lalu beliau pun berbelok dan aku pun mengikutinya. Beliau mempercepat langkahnya dan aku pun mempercepat langkahku. Kemudian beliau bergegas kembali ke rumah dan aku pun berlari agar dapat mendahuluinya menuju rumah. Setelah beliau memasuki rumah, beliau bertanya mengapa nafasku terengah-engah seperti orang yang menderita asma sedang mendaki suatu bukit. Aku pun menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada beliau, bahwa tadi aku mengikuti ke mana beliau pergi. Beliau pun bertanya, ‘apakah engkau mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan tega menyakiti dirimu?’” (HR. Muslim)
Kecemburuan fitrah yang demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. Sebagian sahabat Rasulullah pernah mempunyai rasa cemburu yang agak berlebihan, seperti Umar bin Khatab dan Zubair bin Awwam. Mengenai kecemburuan Umar, dikisahkan sebuah hadits dimana Rasulullah menceritakan: “Ketika aku tidur, aku bermimpi bahwa diriku ada di surga. Tiba-tiba ada seorang wanita sedang berwudhu di dekat sebuah istana surga. Aku bertanya, ‘milik siapa istana itu?’ mereka mengatakan, ‘milik Umar’, lalu aku teringat pada kecemburuan Umar, segera saja aku pergi berlalu. Umar lantas menangis mendengar cerita beliau seraya berkata, ‘Apakah kepadamu aku akan cemburu wahai Rasulullah?’” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecemburuan Zubair dikenal melalui riwayat yang dikisahkan istrinya, Asma binti Abu Bakar RA. “Pada suatu hari aku dalam perjalanan pulang sambil memikul biji gandum di kepala. Lalu aku bertemu dengan Rasulullah (iparnya) yang tengah bersama seseorang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku dan mengatakan: ‘ikh ….Ikh…’(menyuruh untanya untuk menunduk) agar dapat memboncengku di belakangnya. Aku merasa malu berjalan bersama laki-laki dan teringat pada kecemburuan Zubair, sebab Zubair termasuk orang yang sangat pencemburu. Rasulullah saw mengerti bahwa aku merasa malu, lalu beliau pergi berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan Sa’ad bin Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku pukul ia dengan pedang pada bagian yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka Rasulullah berkata, ‘apakah kalian heran akan kecemburuan Sa’ad, sungguh aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Qais bin Zuhair juga pernah berkata: “Aku ini adalah tipe orang yang memiliki sifat pencemburu, orang yang cepat merasa bangga dan memiliki perangai yang kasar. Akan tetapi, aku tidak akan merasa cemburu, sampai aku melihat sendiri dengan mata kepalaku. Aku juga tidak merasa bangga sampai aku berbuat sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Aku juga tidak akan berlaku bengis sampai diriku benar-benar dizhalimi.”
Meskipun demikian, namun berkat rahmat Allah, berbagai peraturan syariat mampu menjinakkan dan mengendalikan kecemburuan para sahabat tersebut. Terdapat kisah seorang sahaya perempuan Umar ikut shalat Subuh dan Isya berjamaah di masjid Nabawi. Dikatakan kepadanya: ‘mengapa kamu keluar rumah, sedangkan kamu tahu Umar tidak senang akan hal itu dan akan merasa cemburu?’ ia menjawab, ‘Apa yang menghalanginya untuk melarang aku (keluar rumah untuk pergi ke masjid)?’ Lanjutnya, ‘ia justru dihalangi untuk melarangku demikian oleh sabda Rasul ‘janganlah kamu larang hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid’.” (HR. Bukhari).
Fenomena yang beragam ini dalam menyikapi kecemburuan memang sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap makna kecemburuan di samping oleh pembawaan pribadi, karakter atau temperamen individu. Namun, terdapat titik temu yang menjadi pegangan dalam hal kecemburuan yakni dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar, melindungi harga diri dan keluarga serta mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai kesucian keluarga berdasarkan indikasi kuat, bukti yang nyata serta gejala yang pasti dalam bingkai baik sangka (husnuudzdzan/positive thinking) yang lebih mendahulukan keutuhan keluarga shalihah agar senantiasa dalam ridha Allah SWT dan syariat-Nya. Wallahu A’lam Wa Billahit taufiq wal Hidayah.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Serial Rumah Tangga

Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-1)


Muslimah (indahparmalia.wordpress.com)dakwatuna.com – Allah berfirman: “Dan bergaullah bersama mereka (istri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa:19).
Bila para pakar merasa kewalahan dan kebingungan untuk secara cermat dan pasti memahami hakikat manusia, seperti ekspresi Dr. Alexis Karel melalui bukunya Man is The Unknown yang menggambarkan akhir pencariannya pada frustasi, keputus-asaan dan jalan buntu dalam memahami hakikat dan perilaku manusia, maka tentunya manusia sendiri akan lebih sulit lagi meraba kejiwaan wanita yang pada aktualisasi emosinya bagaikan gelas-gelas kristal yang memiliki banyak dimensi, segi dan sudut sebagai bagian estetikanya namun pada saat yang sama secara embodied ia bersifat rawan pecah (fragile) perlu perlakukan lembut dan sensitif yang dalam bahasa Arab kaum wanita sering diistilahkan sebagai al-jins al-lathif (jenis lembut) terutama menyangkut dinamika kejiwaan, relung-relung emosional dan lika-liku perasaannya.
Dalam kodrat wanita terutama yang menyangkut emosinya yang demikian itu sebagai kelebihan sekaligus dapat pula berpotensi menjadi kekurangannya kadang kaum wanita sendiri sering salah paham dan sulit memahami dirinya apalagi mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik. Padahal secara kodrati penamaan wanita sebagai terjemahan dari an-niswah dalam bahasa jawa merupakan kependekan dari wani ditata yang berarti berani ditata atau dikelola. Dengan demikian sebenarnya manusia itu sendiri sudah merasakan kodrat hidup dan apa yang dialaminya, sudah menangkap adanya sesuatu yang menjadi fitrah dan takdirnya sebagaimana Allah ungkapkan hal itu pada surat al-Qiyamah: 14. Namun secara empiris manusia lebih suka mencari jati dirinya di luar dirinya, lebih cenderung mencari faktor, oknum dan kambing hitam selain dirinya dengan menutup, menipu dan membodohi diri sendiri. Oleh karenanya Allah Sang Khalik mengingatkan umat manusia untuk melihat ke dalam, mengaca diri dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan kekurangan dan kelebihannya tanpa dinodai upaya manipulasi dan distorsi. (QS. Adz-Dzariyat:21)
Ayat di atas sangat erat dan lekat dengan pasangan suami istri sebagai pesan pertama pernikahan. Ayat ini begitu agungnya melandasi ikatan perkawinan sehingga dicantumkan di halaman pertama buku nikah sebagai wasiat ilahi hubungan suami istri yang harus dilandasi kepada kesadaran tenggang rasa, ngrekso dan ngemong satu sama lain yang merupakan bahasa lain dari pengendalian perasaan dan manajemen emosi dalam rumah tangga.
Rasulullah bersabda:
“Terimalah wasiat tentang memperlakukan kaum wanita (istri) dengan cara yang baik. Karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang melekuk. Dan sesuatu yang paling melekuk itu adalah sesuatu yang terdapat pada tulang rusuk yang paling atas. Jika hendak meluruskannya secara paksa tanpa hati-hati, maka kalian akan mematahkannya. Sedang jika kalian membiarkannya, maka ia akan tetap melekuk. Oleh karena itu, terimalah wasiat memperlakukan wanita dengan baik.” (HR. Ahmad dan Al-Hafidz Al-Iraqi).
Pada riwayat lain dari hadits ini dijelaskan, bahwa sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk berlekuk. Jika kalian mencari kenikmatan darinya, maka kalian akan mendapatkannya. Sedangkan di dalam dirinya masih tetap ada sesuatu yang melekuk. Di mana jika kalian hendak meluruskannya, maka kalian akan mematahkannya. Patah di sini berarti perceraian. (HR. Muslim).
Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah (II/708) menjelaskan makna hadits di atas ialah: “terimalah wasiat dariku (rasulullah) dan gunakan untuk memahami wanita (isteri). Karena pada penciptaannya terdapat sesuatu yang ‘melekuk’. Sebagaimana lazimnya setiap sesuatu akan mewarisi sifat dasarnya. Jika seseorang ingin mengarungi bahtera rumah tangga bersama pasangannya, maka ia harus siap untuk mentolerir dan memaafkan perkara-perkara sepele yang terjadi dan menahan amarah karena sesuatu yang tidak disukainya.”
Dalam hal itu, Rasulullah saw tidak bermaksud memvonis bahwa wanita itu adalah makhluk yang berperangai buruk. Beliau hanya ingin menyampaikan fakta, fenomena dan realitas nyata agar kaum pria bersikap realistis dan siap berinteraksi, bergaul dengan mitra hidupnya dan bagi kaum wanita agar dapat mawas diri. Artinya, jika dalam diri istrinya didapati suatu letupan maupun ledakan emosi, serta menyaksikan ekspresi maupun luapan perasaan yang tidak berkenan di hatinya, maka ia akan menghadapinya dengan sabar dan bermurah hati, tanpa bersikap reaktif dan terpengaruh amarah sehingga menumbuhkan kebencian dan rasa muak, namun ia justru akan melihat sisi baik mitranya. Karena ia hanyalah seorang manusia yang mempunyai sisi baik dan sisi buruk sebagaimana dirinya. Karena itu, Rasulullah bersabda: “seorang mukmin hendaknya tidak membenci mukminat hanya karena satu perangai yang dianggap buruk. Sebab, jika ia membenci satu perangai, maka pastilah ada perangai lain yang akan ia sukai.”
Sejarah tidak pernah menjumpai dalam satu agama atau tradisi mana pun, suatu ajaran yang begitu care, apresiatif dan menghargai kodrat dan hak-hak wanita melebihi doktrin ajaran Islam. Adakah hikmah dibalik kehendak Allah menciptakan wanita dalam keadaan demikian? Memang, Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia (QS. Ali-Imran: 191) dan Dia mengamanahkan kepada kaum wanita tugas-tugas penting dan sensitif seperti hamil, menyusui dan mendidik anak. Untuk itu Allah saw mempercayakan kepada mereka sifat-sifat dan pemberian yang sesuai tugasnya, yang berbeda dari sifat kaum pria dan pembawaannya.
Dr. Frederick mengatakan bahwa kaum wanita mengalami proses stagnasi yang tidak hanya terjadi pada perubahan fisiknya saja, melainkan juga pada tabiat dan keadaan psikisnya. Karena seandainya ia tidak memiliki emosi dan sifat kemanjaan anak-anak, maka pastilah ia tidak mampu menjadi ibu yang baik. Ia bisa dipahami anak-anak karena perasaannya yang masih terdapat unsur kekanak-kanakan.
Menurutnya, ia akan tetap seperti anak-anak dalam kemanjaan dan emosinya, bahkan dalam perkembangannya wanita lebih banyak bersifat kekanak-kanakan. Kelembutan hatinya dan sensitivitas perasaannya cenderung semakin bertambah lebih cepat dibanding daya pikirnya. Praduga, perasaan dan emosinya lebih banyak dipakainya daripada rasionya. Karena ia terkondisikan untuk lebih banyak bersikap pasif daripada bersifat aktif dan lebih banyak menerima dengan sikap pasrah daripada bersikap menguasai. Ia secara kodrati tercipta untuk berada di tengah anak-anak dan suami. Demikianlah posisinya dalam keluarga, yaitu pada titik sentral, untuk menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan segala kecenderungan masing-masing. (Hayatuna al Jinsiyah, hal. 70).
Jika suami mampu memahami, maka ia akan menerima kenyataan dan mendapat kesenangan dari istri dalam batas-batas fitrahnya. Tetapi, jika ia tidak mampu memahaminya, maka ia akan berusaha menjadikan istrinya berbuat sesuai dengan ego kelaki-lakiannya, dari segi berfikir, sehingga mungkin ia akan gagal. Mungkin saja ia akan menghancurkan keluarganya, tempat di mana ia menyandarkan hidupnya. Karena ia menuntut hal mustahil di luar kodratnya. Oleh karenanya, Nabi saw berusaha mengingatkan suami agar hendaknya mendampingi, membimbing, mendidik dan tidak menjatuhkan hukuman dan vonis kepada istrinya hanya karena memiliki suatu sifat yang jelek, sebab ia pun demikian.
Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang agung, rahmatnya telah menyentuh kaum wanita dan melindunginya dari kesewenangan kaum pria. Ia telah memerdekakan perikemanusiaannya, baik jiwa maupun raga. Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai posisi dan jati diri wanita untuk mengemban tugas dan fungsi keberadaannya. Oleh karena itu, mereka sebaiknya menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaan yang ada pada diri mereka untuk menghadapi perlakuan yang dapat membuat mereka melepaskan eksistensi biologis dan psikologisnya.
Ketika fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat karena tidak mengindahkan sunnatullah. Oleh karena itu Rasulullah saw berpesan: “Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Islam telah mengangkat harkat dan derajat kaum wanita serta menjadikan mereka sebagai saudara yang sejajar dengan kaum pria. Syariat Islam telah memelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.
Kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi wanita ini merupakan kunci pertalian cinta kasih pasangan suami istri yang menjadi jembatan menuju keluarga sakinah (QS.Ar-Rum:21). Dengan itu Allah menumbuhkan benih cinta di hati suami-istri sehingga dapat mendorong untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing dalam bentuk yang paling sempurna tanpa ada perasaan tekanan dan kesan paksaan. Cinta suci tersebut merupakan perasaan tulus yang mendalam tanpa kedustaan dan kepura-puraan serta merasuki hidup sepanjang hayat. Nabi saw. pernah mengungkapkan kenangan cintanya pada Khadijah, “aku sungguh telah mendapatkan cinta sucinya.” (HR. Muslim).
Hal ini bukan berarti tumbuh secara tiba-tiba tanpa adanya upaya menanam dan merawat benih cinta, karena beliau memulai perkawinan dengan perasaan simpati yang netral. Namun benih cinta kasih pasangan suami istri yang shalih ini cepat tumbuh berkembang secara subur sebagai buah dari pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), kesetiaan, akhlaq setia, saling memberi dan menerima dengan tenggang rasa yang tinggi. Bukankah doktrin ta’aruf dalam Islam adalah untuk menuju tawasahu bil haqqi dalam atmosfir toleransi dan kesabaran terhadap watak masing-masing. Dengan sikap demikian maka suami istri menikmati kehidupan bersama yang baik dan menyenangkan.

Sumber: http://www.dakwatuna.com